My Diary.
to share my ups-and-downs events

Tokyo Rickshaw

becak jepang 1

Saat melangkahkan kaki keluar dari penginapan di area Asakusa, Tokyo, Jepang, saya bertemu pria-pria tampan yang berdiri di pinggir jalan. Pria-pria bertubuh atletis itu berwajah rupawan, dengan senyum yang menawan. Aaaaa..... Langsung ge-er!!!! Hari pertama di Jepang, sudah dibanjiri senyum-senyum ramah dari pemuda-pemuda Jepang.

Rasa ge-er ini tidak berlangsung lama. Saat pipi saya masih bersemu merah, tiba-tiba pria tampan tadi menyodorkan brosur pada saya. "Tokyo Rickshaw" tertulis di atas brosur itu!! Ditulis dalam huruf besar dan tebal. Di bawah tulisan itu terdapat deretan angka-angka dalam mata uang yen yang membuyarkan pikiran. Apa-apaan nih?!! Jerit saya dalam hati. Kemudian saya celingukan melihat ke kiri dan ke kanan, mencari jawaban dari kebingungan ini.

Setelah menyadari bahwa di dekat kami ada deretan becak berwarna hitam dengan kursi berwarna merah terang, saya baru ngeh, ternyata pria-pria tampan ini adalah tukang becak yang sedang menawari jasa berkeliling kota naik becak!! Pantesan saja mereka begitu ramah... Hikss.

becak jepang 2Dalam bahasa Jepang, rickshaw alias becak disebut sebagai jinrikisha  (人力車), artinya "man power the car" atau kendaraan bertenaga manusia. Bila di Indonesia becak dikendarai dengan dikayuh layaknya sepeda, maka di Jepang, becak ditarik oleh tenaga manusia. Penumpangnya sendiri, biasanya terdiri dari satu hingga dua orang, duduk manis di belakang si pengemudi becak.

Di Jepang, becak Jepang banyak terdapat di distrik-distrik wisata seperti di area Asakusa, Tokyo. Area Asakusa terkenal dengan atmosfir Tokyo pada masa lalu. Tempat-tempat wisatanya terdiri dari Kaminarimon, Sensoji Temple, Asakusa Shrine, dan Nakamise Shopping Street. Selain di Tokyo, becak Jepang juga terdapat di Miyajima (sebuah pulau kecil di dekat kota Hiroshima) dan Kyoto.

Pagi itu, dengan semangat 45 saya mengawali hari menelusuri area Asakusa di Tokyo, Jepang. Saat itu pukul 08.00, area Asakusa masih belum begitu ramai. Mayoritas orang Jepang mengawali kegiatan mereka di luar rumah pada pukul 08.30 sehingga suasana kota masih tergolong lenggang.

Bila selama ini saya mengenal Tokyo sebagai kota yang modern dan serba canggih, namun di area Asakusa, suasana Tokyo lawas mampu bersaing dengan kemajuan jaman. Keberadaan becak-becak Jepang ini buktinya! Dengan keberadaan becak-becak Jepang, suasana Tokyo hadir seperti masa lalu, seperti suasana Jepang yang sering muncul dalam film-film kolosal Jepang abad ke-18.

becak jepang 4
Penasaran, keesokan harinya saya kembali ke area Asakusa, tepatnya menuju daerah dekat sungai Sumida dengan jembatannya yang berwarna merah (Azuma Bridge). Di dekat stasiun Asakusa ini terdapat banyak tukang becak yang berusia sekitar 20-35 tahun sedang menawari jasa mereka kepada orang-orang yang berlalu lalang. Kalau sebagian besar anak muda di negri kita malu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar, di Jepang anak muda tidak malu jadi tukang becak.

Saat sedang mengamati tukang becak yang sedang bertugas, seorang pemuda menyapa saya. Wajahnya lumayan oke dengan kulit berwarna coklat, khas orang Asia. Pemuda itu mengenakan kaos putih, celana pendek, sepatu teplek, dan sesuatu semacam celemek di dada. Dari penampilannya, saya menyimpulkan profesinya sebagai tukang becak.

becak jepang 3

"Where do you come from?" tanya pemuda itu, ramah. 

"I come from Indonesia," jawab saya singkat. 

"Aaa, Indonesia!" serunya. "Jakarta?"

"No, Yogyakarta."

"Aaa... Jakarta?"

"No, Yogyakarta!" Kami kemudian tertawa. Banyak orang Jepang yang tidak bisa membedakan pelafalan kota Jakarta dan Yogyakarta, sehingga menyebutkan kota asal saya di Indonesia sering saya jadikan guyonan untuk berbicara dengan penduduk lokal.

"I see... I see..." kata pemuda itu dengan senyum mengembang. *meleleh*

Setelah berbincang-bincang selama beberapa waktu, akhirnya saya tahu nama pemuda itu Satolu Nakanishi, "Just call me Lou," katanya, bersahabat.

Lou adalah pemuda Jepang yang sadar akan perkembangan jaman. Ia mempraktekkan bahasa Inggris di negri Britania Raya sembari berkuliah di Bradford University untuk program pendidikan Conflict Revolution. "That's why you speak English very good," puji saya. Lou mengangguk, "Yes, I do."

Dari Lou saya mengetahui bahwa mayoritas pengemudi becak di Jepang menjadikan pekerjaan ini sebagai profesi sampingan. Profesi utama mereka sendiri beragam, mulai dari polisi, guru, hingga mahasiswa. Bila Lou sudah bekerja sebagai pengemudi becak selama 5 tahun, maka salah seorang temannya telah menekuni profesi ini selama 12 tahun.

Untuk menumpang becak Jepang kita harus merogoh kocek lumayan dalam. Tarifnya 8.000 ¥ (Rp 800.000) untuk 30 menit perjalanan. Biasanya turis akan menumpang becak selama 30 hingga 60 menit perjalanan keliling kota.

Dalam sehari para pengemudi becak ini rata-rata membawa penumpang berkeliling kota hingga 10 kali. Bayangkan berapa pendapatan mereka dalam sehari!! Lou kemudian bercerita bahwa tahun lalu ia mengantar seorang turis asing menuju Yokohama dengan mengendarai becaknya itu. Perjalanannya sendiri memakan waktu hingga 4 jam dengan menarik becak.

"You must be very healthy," kata saya pada Lou. Dia terkekeh.

becak jepang 5Walaupun kelihatannya mudah, tinggal menggunakan kemampuan fisik lalu memiliki banyak uang, namun menjadi tukang becak di Jepang tidak sesederhana itu. Para pengemudi becak ini harus terdaftar menjadi salah satu anggota dari kelompok becak yang ada di Jepang, seperti Tokyo Rickshaw, Ebsu-ya, atau Jidai-ya. Mereka juga diharuskan mengikuti kursus pariwisata yang diadakan oleh lembaga promosi pariwisata setempat. Mereka disiapkan tidak hanya untuk mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat lainnya, namun sekaligus berperan sebagai pemandu wisata.

"What makes you enjoy becoming a rickshaw rider then?" tanya saya pada Lou saat mengetahui pekerjaan utamanya di lembaga Conflict Revolution. Mungkin penghasilan dari pekerjaan itu sudah cukup untuk menghidupi dirinya.

Lou kemudian bercerita ketika ia kuliah di Inggris, banyak orang bertanya mengenai Jepang, mulai dari sejarah hingga kebudayaannya. "At that time I realized I know nothing about my country." Dengan menjadi tukang becak Lou bisa bercerita mengenai Jepang kepada orang atau teman yang datang dari Negara lain.

Jika Lou menggunakan becak sebagai media untuk mempertahankan kelestarian sejarah dan kebudayaan Jepang, bagaimana dengan kita? Apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga kekayaan alam dan budaya bangsa Indonesia?

Lou kemudian menawari saya berkeliling dengan becak, "Want to go around the city by rickshaw? Don't be shy," katanya. Saya menggeleng. Kantong saya bolong, dirogoh sampai dalam pun tak akan keluar uang untuk naik becak. Hahaha!



[DPN, 2013]

  •  
  •  
  •  
rambutkriwil rambutkriwil Author

2 comments:

  1. Setelah membaca ini, saya kira dinas pariwisata yogya perlu belajar tentang manajemen becak ke Jepang. Penumpang rela membayar mahal asal mereka sudah tahu di depan. Bukan "dirampok" di belakang, seperti yang biasa dialami turis-turis yang mengunjungi Yogyakarta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa bener... dn gue heran kenapa di jakarta becak dihilangkan dgn alasan eksploitasi manusia? di tokyo justru dipertahankan.... spy nggk eksploitatif ya harganya harus disesuaikan dong. becakny juga bagus bersih, intinya nggak nelongso lah hidup jadi tukang becak.

      Delete

rambutkriwil

chronicle of a curly girl to live a life

Featured Post

MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM

HI YOU! NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM   NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM   SE...

Latest Posts

Instagram Post!

Followers